Pak Havas bertandang ke Fakultas Teknik tanggal 23 Agustus 2017 atas prakarsa Teknik Geodesi UGM. Ini adalah kali kedua beliau berkenan datang memberi kuliah umum setelah kedatangan pertamanya tanggal 21 Maret 2014 silam. Saya berperan sama: sebagai moderator.
Pak Havas membuka kuliahnya dengan Peta Indonesia dan membandingkannya dengan peta negara dan benua lain. Tumpang susun peta Indonesia dengan Benua Eropa, misalnya, mampu menunjukkan dengan gamblang, betapa luasnya Indonesia karena wilayahnya mencakup belasan negara di Eropa. Saat dibandingkan dengan Amerika Serikat, nampak jelas bahwa jarak dari ujung barat dan timur Indonesia lebih panjang dibandingkan jarak California-New York. Singkatnya, bentangan Indonesia lebih lebar dibandingkan daratan utama Amerika Serikat. Mengingat bentangan Indonesia terdiri dari laut dan daratan dengan ribuan pulau, terungkaplah dengan jelas, betapa kompleks konfigurasi geografis negara ini.
“Indonesia is an impossible country” kata Pak Havas menegaskan. Konfigurasi geografis yang begitu luas dan ‘terpecah-pecah’, adat istiadat yang begitu berbeda antara ujung barat dan timur, kenampakan manusia yang juga begitu berbeda antarsuku, penduduk yang ratusan juta jumlahnya, agama yang berbeda dan dan bahasa yang ratusan ragamnya, semua itu bisa menjadi faktor untuk yang memisahkan. Toh negara ini tetap bersatu hingga kini. Inilah yang membuatnya seolah-olah menjadi negara yang ‘impossible’. Pak Havas mengingatkan hadirin akan kekayaan alam dan budaya Indonesia dengan cara yang berebeda.
Di saat berikutnya Pak Havas mengajak hadirin untuk terbuka soal pemerintahan dan kepercayaan rakyat. Kita mungkin sering membaca dan mendengar berita buruk tapi faktanya, Indonesia mencatatkan diri sebagai negara dengan posisi tertinggi di dunia dalam kepercayaan dan keyakinan rakyat kepada pemerintahnya. “Bukan kita yang mengatakan itu. Orang lain melalui lembaga terpercaya yang mengungkapkannya” kata Pak Havas mantap. Secara tersamar, Pak Havas ingin membangun kesan positif hadirin akan negerinya, Indonesia. Pak havas tidak hanya berbicara soal laut, beliau sebenarnya sedang berbicara tentang kehidupan berbangsa.
Pak Havas melanjutkan kuliahnya dengan mengajak hadirin untuk mengetahui tantangan kelautan yang dihadapi Indonesia. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang sebagian wilayah dan yurisdiksinya berupa laut, Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Lima tantangan utama yang diurai Pak Havas adalah 1) perlunya mengenal atau mengetahui laut dengan baik, 2) perlunya melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang bertanggung jawab, 3) perlunya mengetahui ancaman kelautan yang ada, 4) perlunya menjaga keamanan laut, serta 5) perlunya menegaskan kepentingan Indonesia di laut kepada dunia. Kalau butir 1 hingga 4 adalah sebuah pandangan yang bersifat inward looking (ke dalam), butir kelima adalah yang fokus pada outward looking (ke luar).
Kelima tantangan di atas memerlukan sebuah respon yang baik dan tepat. Itulah yang ingin dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK saat ini melalui ambisi mereka untuk mewujudkan “Poros Maritim Dunia”. Poros Maritim Dunia adalah gagasan baik namun perlu diterjemahkan dalam pilar-pilar kebijakan yang sistematis dan rencana aksi yang membumi. Jargon tidak boleh berhenti di jargon. Jargon harus diterjemahkan menjadi sebuah rencana yang operasional dan terukur pencapaiannya. Inilah yang melatarbelakangi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman untuk memelopori pembuatan Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) atau National Ocean Policy. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Indonesia kini memiliki (KKI) dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).
KKI adalah karya monumental Indonesia yang merupakan terjemahan Poros Maritim Dunia dalam kebijakan umum dan rencana aksi. Sambil menunjukkan dua buku yang cukup tebal, Pak Havas menegaskan bahwa semua kebijakan kelautan Indonesia ada di dokumen tersebut. Ada kebijakan yang bersifat umum hingga rencana aksi yang detil dan operasional. Pak Havas menegaskan ada tujuh pilar KKI yang dikembangkan dari lima pilar Poros Maritim Dunia yang disampaikan Jokowi – JK di awal pemerintahannya. Nawa Cita tentu saja menjadi bagian tak terpisahkan dari KKI tersebut. Di akhir kuliah, Pak Havas menyerahkan dua buku KKI yang mewakili sekitar 50 eksemplar buku untuk didistribusikan di UGM.
Pak Havas sempat menceritakan dinamika dalam mewujudkan KKI. Karena hal itu harus merupakan dokumen komprehensif maka pelibatan kementerian dan lembaga menjadi sangat penting. Inilah tantangan terbesar karena tidak semua pihak memiliki semangat yang sama dalam mewujudkan KKI. Kepedulian dan kepentingan masing-masing juga berbeda dan perlu energi besar dan daya tahan yang tinggi untuk bisa bertahan di tengah pasang surut semangat antarlembaga dan kementerian itu.
Saya mencoba memahami ini sebagai suatu proses analogis yang juga terjadi di berbagai tingkat. Untuk merumuskan kebijakan di tingkat universitas, pelibatan fakultas sangatlah penting. Hanya saja, tidak semua fakultas bersedia terlibat dengan sungguh-sungguh sehingga seringkali kebijakan yang dihasilkan belum mencerminkan kepentingan semua fakultas. Untuk merumuskan kebijakan di level departemen atau program studi, pelibatan lab atau dosen sangatlah penting. Sayangnya, tidak semua pihak selalu mencurahkan energi dan perhatiannya secara proporsional. Yang menjadi masalah, setelah kebijakan sudah terwujud, biasanya ada pihak yang tiba-tiba muncul dan berkata “kok kami tidak diakomodasi?”. Pak Havas menceritakan hal yang sama dalam pembuatan kebijakan di tingkat nasional. KKI tentu tidak luput dari dinamika proses seperti itu.
Dari banyak yang dijelaskan Pak Havas soal KKI, beliau secara khusus menyampakikan soal peran dunia pendidikan dalam upaya pengelolaan keluatan di Indonesia. Reorientasi kurikulum adalah satu hal yang beliau soroti. Sejauh mana pendidikan kita telah berorientasi pada laut? “Apakah UGM memiliki klaster maritim?” tanya beliau memantik hadirin untuk berpikir. Ternyata belum. Meskipun UGM memiliki beberapa fakultas yang mengajarkan materi kelautan, belum ada klaster maritim yang diakui secara formal. Hal ini juga terjadi di institusi besar lainnya di Indonesia. Meski demikian, Pak Havas menyampaikan bahwa UI, misalnya, telah memiliki Indonesia Maritime Center (IMC) yang cukup aktif diskusi soal kelautan dan kemaritiman. UGM dan institusi lainnya harus mengupayakan hal yang sama, tegas beliau. Di UGM sendiri sebenarnya sudah ada Pokja Kemaritiman yang cukup aktif mengulas gagasan kemaritiman Indonesia dan ini tentu perlu digalakkan lagi di masa yang akan datang.
Di luar soal pendidikan, beliau menyoroti budaya bahari yang perlu direvitalisasi. Pak Havas mencontohkan, sebagian besar anak muda Indonesia tidak akrab dengan laut. Jika sekelompok anak muda ditanya “siapa yang pernah ke pantai?”, mungkin sebagian besar angkat tangan. Jika pertanyaannya dilanjutkan “siapa yang pernah naik kapal?”, mungkin lebih sedikit yang angkat tangan. Jika pertanyaannya lebih spesifik “siapa yang pernah berenang atau menyelam di laut?”, bisa jadi yang angkat tangan lebih sedikit lagi. Namun jika ditanya siapa yang main ke mall, hampir dipastikan semua orang akan angkat tangan. Ini soal budaya bahari. Keterlibatan dan kepedulian kita harus dimulai dari merevitalisasi budaya bahari kita, kata Pak Havas.
Secara khusus Pak Havas mengingatkan bahwa peran disiplin Geodesi adalah untuk menjawab tantangan kelautan yang pertama yaitu untuk mengenal lautan dengan lebih baik. Disiplin pemetaan harus diarahkan untuk mengetahui rahasia dasar laut sehingga pemahaman akan laut menjadi lebih tinggi. Secara berkelakar, Pak Havas, mengatakan bahwa lebih banyak film tentang luar angkasa dibandingkan film tentang dasar laut. Itu artinya ketertarikan kita terhadap ruang angkasa lebih besar dibandingkan ketertarikan kita terhadap sesuatu yang dekat dengan kita: laut. Hal ini benar adanya mengingat citra satelit yang meggambarkan permukaan Mars dan Bulan memang lebih detil dan lebih tinggi resolusinya dibandingkan citra/peta dasar laut yang ada saat ini. Hal ini merupakan tantangan bagi disiplin survey dan pemetaan di masa kini dan masa depan.
Pak Havas mengakhiri ceramah beliau dan membuka kesempatan untuk bertanya. Ada sembilan pertanyaan yang sangat baik dari mahasiswa Teknik Geodesi UGM. Jika saja tidak terbatas oleh waktu, tentu lebih banyak ladi pertanyaan yang mereka ajukan. Sebagai dosen Teknik Geodesi, saya merasa senang dan bangga karena pertanyaan mahasiswa itu sangat baik dan menunjukkan tingkat kepedulian intelektualitas yang baik.
Saat ada yang bertanya bagaimana cara mengubah pandangan/mindset atau budaya masyarakat agar jadi berorientasi bahari, Pak Havas memulai dengan sebuah permakluman. Bisa dipahami, kata beliau, mengapa banyak penduduk Indonesia yang sulit menyadari bahwa mereka sebenarnya orang pesisir. Bentang alam Indonesia yang begitu beragam membuat semua itu terjadi. Di hampir semua kawasan Indonesia, akan sangat mudah menjumpai gunung dan laut yang sangat dekat jaraknya. Mereka yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, misalnya, akan sangat sulit untuk diyakinkan bahwa mereka adalah masyarakat pesisir meskipun sebenarnya tidak terlalu jauh dari Pantai Selatan. Sehari-hari mereka melihat dan menikmati kehidupan pegunungan, bagaimana mungkin mereka bisa dikatakan masyarakat pesisir, meskipun laut hanya berjarak pada kisaran puluhan kilometer dari rumah mereka. Dalam bahasa Jawa yang kental Pak Havas mensimulasikan jawaban atau sanggahan masyarakat pegunungan itu, jika mereka dikatakan sebagai masyarakat pesisir. Mereka pasti yakin bahwa mereka manusia gunung, bukan manusia pantai, kata Pak Havas.
Ilustrasi cerita di atas adalah alasan mengapa mengubah budaya ini tidak mudah. Meski demikian, edukasi bisa menintervensi secara positif. Orang gunung, meskipun tidak akan pernah teryakinkan bahwa mereka sebenarnya juga orang pesisir, bisa pelan-pelan diingatkan bahwa apa yang mereka lakukan di sana akan berpengaruh pada kondisi laut. Misalnya, sampah plastik yang mereka buang secara sembarangan ke sungai, pada akhirnya akan mengotori laut. Hal ini perlu dikisahkan dalam bentuk edukasi yang baik sehingga pelan-pelan mereka juga merasa menjadi bagian dari cerita tentang laut.
Pak Havas juga menyinggung perihal pentingnya sosialisasi kepada masyarakat saat menanggapi beberapa pertanyaan lain. Tugas pemerintah adalah melakukan diseminasi informasi hasil perumusan kebijakan agar menjadi pengetahuan publik. Meski demikian, tugas itu tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Diseminasi informasi ini harus juga menjadi kewajiban moral semua pihak yang telah terdidik atau telah terpapar dengan pengetahuan atau isu kelautan. Mahasiswa tentu bisa membantu hal ini dengan diseminasi informasi terkait kelautan melalui jejaring media yang dipakai generasi muda saat ini. Perihal kelautan dan kemaritiman harus juga merambah media sosial agar dia bisa secara efektif mewarnai pemikiran generasi muda.
Pertanyaan lain yang disampaikan mahasiswa Teknik Geodesi juga terkait dengan kondisi di pulau-pulau perbatasan dan bagaimana upaya pemerintah untuk membangun masyarakat yang ada di sana. Pak Havas menyampaikan usaha yang telah dilakukan sekaligus menyampaikan realitas dan tantangan yang ada. Kebutuhan infrastruktur menjadi salah satu kendala yang harus tetap ditingkatkan di masa depan.
Yang cukup berbeda, ada pertanyaan dari mahasiswa angkatan 2015 terkait dengan pertahanan dan keamanan. Dia dengan cukup fasih berkisah tentag minimum essential force yang menunjukkan pengetahuannya yang cukup luas tentang isu strategis nasional di luar bidang geodesi. Pengetahuan seperti ini penting agar kita bisa megaitkan dan menerapkan ilmu geodesi pada isu-isu strategis nasional sehingga dia menjadi ilmu bumi yang benar-benar membumi.
Diskusi berlangsung bergitu hangat, interaktif dan penuh dengan semangat. Kuliah yang secara total berlangsung selama hampir dua jam itu berjalan baik dengan peserta yang tetap antusias. Pak Havas menutup kuliahnya dengan mengingatkan bahwa kita adalah salah satu penghasil sampah plastik terbesar di dunia yang megotori laut. Setiap orang harus mengusahakan dengan serius mengurangi sampah plastik. Dengan kelakar saya ‘banggakan’ bahwa di ruang kuliah itu tidak ada air dengan kemasan plastik dan itu adalah dalam rangka mendukung kebijakan Kemenko Maritim dan disambut tepuk tangan hadirin.
Selepas memberi catatan pada kuliah umum Pak Havas, saya tutup dengan menyampaikan bahwa McKinsey & Company memprediksi Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh dunia di tahun 2030. Selain itu, Price Waterhouse Cooper juga memperkirakan Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor empat dunia di tahun 2050. Semua itu belum menjadi kenyataan dan hanya akan jadi nyata jika semua pihak bekerja dengan baik. Yang diperlukan adalah cara pandang yang positif tentang Indonesia. Mengutip Marcel Proust, saya mengatakan bahwa “penemuan sejati itu bukanlah tentang menemukan hal baru tetapi tentang memiliki mata baru”. “Hari ini, Pak Havas telah meminjamkan mata baru sehingga kita bisa memiliki sudut pandang baru dalam melihat Indonesia.” Kuliah umum berakhir dengan riuh tepuk tangan.
I Made Andi Arsana
Teknik Geodesi UGM
Di udara antara Jakarta dan Bali, 24 Agustus 2017
Catatan ini tidak merekam semua materi kuliah umum